PENDIDIKAN SEBAGAI ALAT PENYADARAN

PENDIDIKAN SEBAGAI ALAT PENYADARAN

Oleh : Lady Farhana

(Pengisi Materi Masa Ta’aruf IMM UAD 2016)

Saat kita berkecimpung dalam dunia pendidikan, kita harus memberikan fungsi khusus bagi pendidikan tersebut sebagai alat penyadaran bagi siapapun yang ada di dalamnya. Terutama bagi siswa yang beranjak menjadi mahasiswa, mereka harus mencoba berpindah dari sebuah ruang ‘keterpaksaan’ menuju ruang ‘kesadaran’ sebagai manusia yang sedang mematangkan dirinya menjadi pribadi yang paripurna menghadapi realita kehidupan.

Siswa yang cenderung masih didorong saat dalam masa pembelajaran; contohnya saat diajak untuk mengikuti ekstrakulikuler, les, dsb, maka menjadi mahasiswa adalah memberikan kesadaran bahwa apapun yang ada dihadapannya menjadi pilihan yang harus dipertanggungjawabkan, pilihan yang membutuhkan pertimbangan dan kearifan, dan pilihan yang akan menentukan masa depannya. Hidup yang diciptakan juga bukan berdasarkan keinginan dan paksaan orang lain, namun adalah ia sadar bahwa dirinya membutuhkan itu dan agar dapat ia ciptakan sendiri.

Berbicara tentang kesadaran, maka menjadi sebuah keharusan adalah mahasiswa jangan sampai membiarkan dirinya miliki kriteria diri yang menjauhkan darinya realita sosial. Kita mengenal ada macam mahasiswa kupu-kupu (kuliah pulang, kuliah pulang), mahasiswa kunang-kunang (kuliah nangkring, kuliah nangkring), dan lain sebagainya; yang sejatinya kriteria yang ditemukan tersebut hanya akan membuat mahasiswa semakin pragmatis dan oportunis diri terhadap lingkungan sosialnya. Ada pilihan yang sering ada di sekitar kita tentang menjadi mahasiswa selain kriteria di atas:

Mahasiswa organisatoris. Mahasiswa yang terlingkup dalam organisatoris ini sangat concern dirinya terhadap organisasi yang sedang ia geluti. Loyalitas organisasi menjadi hal yang paling principle dalam hidupnya. Sayangnya, seringkali mahasiswa organisatoris ini terjebak dalam rutinitas organisasi sehingga lupa dengan kewajiban utamanya sebagai mahasiswa, yaitu untuk menyelesaikan studi dan mengembangkan ilmu pengetahuai. Tidak jarang banyak yang tergabung dalam mahasiswa ini lupa diri untuk menyelesaikan pendidikannya. Kuliah yang dibatasi oleh institusi 14 semester menjadi hal yang tidak cukup bagi dirinya.

Mahasiswa akademis. Mahasiswa yang berada dalam tipe ini berkebalikan dengan mahasiswa yang bertipe organisatoris. Akademik menjadi concern utamanya sehingga merasa tidak perlu untuk berorganisasi. Nilai yang bagus, membaca buku, pergi ke perpustakaan, menjadi fokus utama dirinya untuk menjalankan misi pendidikannya: menyelesaikan dengan nilai yang baik dan tepat waktu. Sayangnya, mahasiswa yang tergabung dalam tipe ini kadang sering lupa bahwa disiplin ilmu bukan hanya berbicara tentang dirinya, namun juga orang-orang yang ada di sekitarnya, masyarakat, dan bangsa ini.

Mahasiswa akademis juga sering tidak terlatih dalam problem solving dalam dunia realitas. Ia jarang bersinggungan dengan orang banyak untuk me-match-kan antara disiplin ilmunya dengan fenomena sosial yang nyata terjadi di sekitarnya. Tentang disiplin ilmu yang sering kali lebih kaya di lapanganan, di banding hanya sekedar teori belaka.

Mahasiswa akademis-organisatoris. Mahasiswa yang tergabung dalam tipe ini harapannya dapat bisa menyeimbangkan antara akademiknya dan pengembangan diri juga sosial yang akan banyak dilatih dalam organisasi. Mahasiswa tipe ini dilatih saat pada perkuliahan dan berbagai literatur yang ia baca, akan mengaplikasikannya dalam masyarakat kecil yang namanya organisasi.

Sebagai seorang yang belajar psikologi, misalnya, dalam berbagai kesempatan perkuliahan banyak dibahas mengenai bagaimana seseorang yang lansia perlu penanganan khusus karena pada usianya adalah jenjang dimana sedang mempersiapkan kematian. Kecemasan yang dialami para lansia harus di atasi dengan berbagai pendampingan. Lantas bagi yang masuk ke dalam tipe akademis-organisatoris, tema ini biasanya akan menjadi pembahasan yang menarik untuk didiskusikan dan dikembangkan menjadi program untuk memberdayakan para lansia sehingga terlepas dari kecemasan yang mereka rasakan. Misalnya dengan membuat senam lansia, edukasi menghadapi usia lanjut (pola makan, kestabilan emosi, dsb), dan lain sebagainya.

Mahasiswa akademis-organisatoris akan banyak dihadapkan dengan berbagai fenomena dan problematika sekitarnya sehingga diskusi, pengembangan ilmu pengetahuan, dan pengaplikasiannya secara sadar akan mereka lakukan dengan sendirinya. Mahasiswa dalam tipe ini akan sadar dan bertanggung jawab terhadap akademis yang ia geluti berikut kesadaran dirinya dalam menyentuh ranah sosial dengan disiplin ilmu yang dimiliki.

Kaitannya tentang pendidikan sebagai alat penyadaran, bahwa pendidikan formal tidaklah cukup untuk mewadahi mahasiswa agar ia dapat sadar akan fungsi dan tugasnya sebagai orang yang akan menempuh realita sosial. Namun ia perlu dilatih dan dikembangkan dalam organisasi sehingga dapat siap menghadapi masyarakat yang jauh lebih besar. Ia juga akan memiliki kesadaran penuh bahwa pendidikan yang ia geluti bukanlah untuk kepentingan pribadi, lebih luas lagi, adalah solusi untuk mengatasi problematika masyarakat dan bangsa yang saat ini terjadi.

Be aware 🙂