Assessment Social: Pendekatan Dialogis Sebagai Pengantar Pemberdayaan Pada Kaum Marjinal

Syarifatun Nida

(PK IMM Psikologi UAD Periode 2019-2020)

 

Indonesia merupakan negara yang memilik banyak potensi. Berbagai potensi yang dimiliki antara lain memiliki tanah subur, potensi alamnya sangat luar biasa, serta potensi kebudayaannya juga tidak kalah penting. Namun, disisi lain indonesia memiliki kekurang dalam pengelolaan sumber daya manusia. Hal ini dapat dilihat pada tingkat pengangguran setiap tahunnya. Dilansir pada journal harian kompas, Badan Pusat Statistik ( BPS) mencatat jumlah pengangguran pada Agustus 2019 berjumlah 7,05 juta orang, meningkat dari Agustus 2018 yang hanya 7 juta orang. Dengan kata lain, pemerintah Indonesia memiliki kekurangan di dalam pengelolaan sumber daya manusia yang di miliki. Pengangguran sebagai bentuk manifestasi dari kurang efektivnya pengelolaan sumber daya manusia, dapat mengarahkan pada kemiskinan yang berkepanjangan. Badan statistik menyatakan pada maret 2019, secara rata-rata rumah tangga miskin di Indonesia memiliki 4,68 orang anggota rumah tangga. Dengan demikian, besarnya Garis Kemiskinan per rumah tangga miskin secara rata-rata adalah sebesar Rp1.990.170,-/rumah tangga miskin/bulan.

Pengentasan kemiskinan di Indonesia memang tidak mudah, hal ini dapat dilihat bahwa pemerintah dapat mengentaskan kemiskinan dalam jangka waktu 2018 hingga 2019 hanya 0,66 persen. Persentase di dapat dari badan pusat statistik (BPS) yang menunjukkan penduduk miskin pada Maret 2019 sebesar 9,41 persen, menurun 0,25 persen poin terhadap September 2018 dan menurun 0,41 persen poin terhadap Maret 2018. Dengan adanya kondisi seperti ini, lahirlah sebuah kelompok manusia yang sering kita sebut sebagai kaum marjinal. Kaum marjinal, merupakah sekelompok orang yang seringkali dipandang sebelah mata. Hal itu dikarenakan mereka dianggap berada dalam strata sosial kelas bawah (mahfud & sofiyatun, 2015). Menurut (akatiga, 2010) di dalam rapat desa maupun aktivitas pembangunan desa, kelompok marjinal selalu terkucilkan, kecuali mereka yang memiliki kedekatan personal dengan pemerintah desa. Kaum marjinal memiliki karakter yang berbeda-beda. Akatiga (2010) menyebutkan bahwa karakter yang pertama yaitu, tidak memiliki aset atau memiliki aset yang bernilai rendah. Disetiap daerah memiliki kondisi yang berbeda, namun di tiga daerah sebagai contoh Di Jawa Barat, NTB, dan Sumatra Barat, kaum marjinal memiliki kesamaan kondisi yaitu kelompok buruh tani yang tidak menguasai, apalagi memiliki lahan pertanian, dan kelompok petani penggarap berlahan kecil.

Yang kedua tinggal di lokasi terpencil, jauh sarana prasarana sosial ekonomi. Setiap desa, paling tidak, memiliki satu dusun/perkampungan yang letaknya terpencil, jauh dari sarana dan prasarana sosial ekonomi. Bahkan beberapa di perkampung tersebut, hanya dapat dicapai dengan berjalan kaki atau menggunakan perahu dari kampung terdekat. Bisa saja kondisi tanah tempat tinggal mereka subur, tetapi isolasi daerah tersebut akibat buruknya sarana jalan berdampak negatif terhadap kondisi ekonomi, pendidikan dan kesehatan.

Karatekter yang Ketiga Memiliki jumlah tanggungan non-produktif banyak dan sumber penghasilan kecil. Perempuan kepala keluarga, orang-orang lanjut usia berada dalam kategori ini. Keberadaan jumlah tanggungan nonproduktif yang banyak sering memperparah kondisi kaum marjinal.

Keempat Berasal dari kaum minoritas (dari sisi etnis maupun agama). Di salah satu desa Kalimantan Barat, kelompok miskin dari etnis Tionghoa (yang biasanya juga merupakan kamu minoritas dari sisi agama) hampir tidak pernah mendapatkan undangan untuk berpartisipasi dalam rapat-rapat dusun maupun desa. Hanya sedikit dari mereka yang mendapatkan bantuan program pemerintah seperti BLT. Selain itu sebagai contoh yang lain di Biak Papua, kaum pendatang yang miskin serta masyarakat yang berasal dari kelompok adat yang dianggap lebih rendah juga termarjinalkan dari proses pengambilan keputusan. Berbeda dengan tiga kategori kelompok marjinal dan rentan di atas, kelompok-kelompok marjinal dari kategori ini sering terlewatkan dalam identifikasi kaum marjinal dan rentan.

Dengan berbagai karakter yang ada, kaum marjinal merupakan sekelompok individu yang butuh diberdayakan agar menjadi kaum yang berdaya. Hal ini di benarkan melalui gagasan Widjajanti (2011) yang menyebutkan bahwa sasaran utama pemberdayaan masyarakat adalah mereka yang lemah dan tidak memiliki daya, kekuatan atau kemampuan mengakses sumberdaya produktif atau masyarakat yang terpinggirkan dalam pembangunan. Menurut Harahap (2012) pemberdayaan dalam konteks sosial dapat diartikan sebagai suatu upaya untuk memulihkan atau meningkatkan keberdayaan sekelompok individu agar mampu berbuat sesuai dengan harkat dan martabat mereka dalam melaksanakan hak-hak dan tanggung jawab mereka sebagai warga negara. Dengan tujuan untuk memandirikan warga masyarakat agar dapat meningkatkan taraf hidup keluarga dan mengoptimalkan sumberdaya yang dimilikinya (Widjajanti, 2011).

Pemberdayaan dapat dilakukan oleh semua individu, namun keberhasilan pemberdayaan tidak dapat dimiliki oleh semua individu kecuali individu yang dapat mempersiapkan arah dan tujuan yang jelas dalam pemberdayaan. Untuk mencapai arah dan tujuan yang jelas maka perlu dilakukan asesmen sosial. Apaibila dilihat dari perspektif pendidikan asesmen merupakan istilah umum yang didefiniksikan sebagai sebuah proses yang ditempuh untuk mendapatkan informasi yang digunakan dalam rangka membuat keputusan-keputusan mengenai para siswa, kurikulum, program-program dan kebijakan pendidikan, metode dan instrumen pendidikan lainnya oleh suatu badan, lemabaga, organsasi dan institusi resmi yang menyelenggarakan suatu aktifitas tertentu (Anhusadar, 2013). Dapat dioperasionalkan bahwa dalam perspektif sosial, asesmen merupakan sebuah proses yang ditempuh untuk mendapatkan informasi yang digunakan dalam rangka membuat keputusan-keputusan sosial. Bentuk-bentuk informasi yang penting diketahui dalam asesmen sosial yaitu analisis permasalahan yang ada serta kultur masyarakat setempat.

Elemen yang penting dan perlu diketahui bersama bahwa asesmen tidak kemudian berjalan dengan lancar tanpa adanya pendekatan yang di gunakan di dalamnya. Banyak bermunculan pendekatan-pendekatan sosial salah satunya adalah pendekatan dialogis. Menurut kamus besar Bahasa Indonesia dialogis diartikan sebagai komunikasi yang bersifat terbuka dan komunikatif. Jadi, pendekatan dialogis dapat berjalan dengan asas terbuka dan komunikatif. Melalui pendekatan dialogis ini keterbukaan serta komunikatif tidak dapat tercapai apabila tidak melibatkan masyarakat atau kaum marjinal yang akan dibersamai untuk berdaya. Melihat sudut pandang mengenai pendekatan dialogis (Anindita, manurung, rokhdian, apristawijaya, & fawaz, 2019) mengemukakan bahwa ada pembelokan arah pikiran yang menghasilkan sub-sub penting dari pendekatan dialogis, yaitu pertema menempatkan kaum marjinal sebagai subjek ketimbang menjadikannya sebagai objek. Maksudnya adalah sebagai pelaku pemberdayaan masyarakat, sudah seyogyanya ketika menggunakan pendekatan dialogis perlu menggeser objeknya kepada permasalahan yang dihadapi bukan kepada sekelompok individunya dalam konteks ini adalah kaum marjinal.

Kedua pelaku pemberdayaan masyarakat harus merespon kondisi yang aktual dan merefleksikan aspirasi sekelompok individu dalam konteks ini adalah kaum marjinal yang akan bersinergi bersama. Ketiga adanya pelaku pemberdayaan bersama-sama dengan kaum marjinal diharapkan memiliki aksi yang konstruktif dan rekonstruktif. Dengan sub-sub penting yang ada maka pendekatan dialogis dapat mempermudah jalannya asesmen sosial yang dilakuakan. Karena yang seperti kita ketahui bahwa pendekatan dialogis merupakan pendekatan yang sangat membumi. Dapat duduk bersama dengan masyarakat adalah salah satu bentuk manifestasi pendekatan dialogis.

Inilah yang disebutkan bahwa pendekatan dialogis dapat disebut sebagai pengantar pemberdayaan. Mustahil adanya keberhasilan dalam pemberdayaan apabila tidak ada tindakan asesmen pada kaum marjinal. Maka dari itu, dengan berbagai karatketristik kaum marjinal yang disebutkan diatas pastilah membawa dampak pada tatanan perilaku yang kaku, sehingga perlu adanya sebuah pendekatan yang fleksibel untuk melakukan asesmen atau pecarian data di tataran masyarat kaum marjinal.

Daftar Pustaka :
DAFTAR PUSTAKA
Akatiga. (2010). Kelompok marjinal dalam PNPM-Perdesaan. Public Disclosure Authori: Bandung.
Anindita, Manurung, Rokhdian, Apristawijaya, & fawaz. (2019). Melawan Setan Bermata Runcing (Pengalaman Gerakan Pendidikan Sokola). Sokola institute: Bekasi.
Harahap, E. F. (2012). Pemberdayaan Masyarakat Dalam Bidang Ekonomi Untuk Mewujudkan Ekonomi Nasional Yang Tangguh Dan Mandiri. Jurnal Manajemen dan Kewirausahaan, 3(2), 78-96.
https://money.kompas.com/read/2019/11/05/155358926/bps-pengangguran-meningkat-lulusan-smk-mendominasi.
Mahfud & sofiyatun. (2018). Makna Pendidikan Bagi Kaum Marjinal (Studi Terhadap Pandangan Tukang Becak di Pasar Sangkapura Bawean). Cendekia: Jurnal Studi Keislaman, 1(1), 16-34
Widjajanti, K. (2011). Model Pemberdayaan Masyarakat. Jurnal ekonomi pembangunan, 12(1), 15-27.