“Bukan Persoalan Orang Lain tapi Karena Syahadat yang Telah Dilafadzkan”

IMMawati Repa Sepnita

(Ketua Umum IMM Komisariat F.Psikologi UAD 2016/2017)

Ketika amanah datang dan berhenti di pundakmu maka saat itu kita punya tanggung jawab untuk menjalaninya. Bukan hanya memulai tapi bagaimana kamu bisa menyelesaikannya dengan seluruh kemampuanmu.

Lalu, apa pernah kau merasa kelelahan karena berpikir apakah sama arah gerakan ini telah menuju pada tujuannya?

Saya sempat merenungkan bagaimana spirit perjuangan KH Dahlan dulu saat ia mendirikan Muhammadiyah ini? Di akhir zaman ini setelah 105 tahun apakah orang-orang yg meneruskan perjuangannya sudah menuju ke arah yang beliau cita-citakan? Atau mungkin sebagai kader kita lupa dengan tujuan? Atau jangan-jangan kita belum tahu dengan apa yang dicita-citakan sebenarnya? Sehingga tak jarang saling menjatuhkan satu sama lain di dalam pergerakan ini, atau mungkin…

Lalu, apa pernah berpikir untuk berhenti dalam berjuang?

Ketika semua kondisi tak lagi mendukung kita untuk bertahan. Bahkan sampai semua terasa sangat susah, kesal, benci, marah, bahkan memuakkan.
Bagus! Itu artinya kau sedang melewati masa dimana komitmenmu sedang diuji. Lalu apa yang sudah kau perjuangkan?

Di dalam pergerakan ini harus diakui bahwa menjadi seorang kader bukan hal yang mudah. Kalau hanya sekedar senang, masih banyak tempat yang lebih menyenangkan. Namun bukan berarti disini kita hanya akan merasa susah, jauh dari sekedar kesenangan tetapi kau akan menemukan kebahagiaan dengan caramu sendiri.

Saat banyak ajakan bergabung di organisasi pemuda yang luar biasa di luar sana, bertemu dengan orang-orang inspiratif dan out of the box, tapi apa yang dirasakan? Sangat berbeda culture, beda cara, beda sistem, beda yg dicita-citakan.

Sedangkan semakin hari kau semakin kesal dengan sikap orang-orang yang ada di dalam ikatan, semakin benci dengan mereka yang menentang tapi tidak memperbaiki, semakin marah dengan kondisi mereka yang mungkin lupa cara mengkritik dengan etika tanpa memberi solusi, dan semakin sedih dengan gerakan yang semakin sibuk dengan kepentingan sendiri sehingga lupa makna ikatan.

Bahkan sampai pada tahap yang memuakkan sekalipun, masih belum mampu dan belum cukup alasan untuk meninggalkan ikatan ini.

Semakin dalam saya merenung, mengingatkan saya pada kalimat, “Repa, Pak Haedar Naashir pun pernah lelah dalam berdakwah.”
Kalimat itu persis disampaikan teman seperjuangan saat 1 tahun yang lalu saat saya berpikir dan merasa tidak ingin melanjutkan jalan dakwah disini. Hanya dengan satu kalimat itu membuat saya mengerti banyak hal yang tersirat. Bisa kita bayangkan bagaimana seorang ayahanda sebagai Pimpinan Pusat Muhammadiyah yang jelas dengan masalah yang lebih kompleks memikirkan persoalan umat juga merasakan hal demikian? Apalagi seukuran kita sebagai kader akar rumput yang baru memulai perjuangan.
Lantas sudah sebandingkah persoalan kita? Benarkah terlalu sulit menjadi aktivis dakwah?

Sampai pada beberapa minggu yang lalu saya mendengarkan cerita dari seseorang yang menjadi perantara dari Allah untuk menjawab kegelisahan yang sedang dirasakan, “Ada guru yang meminta muridnya untuk berlari keliling lapangan, saat itu satu persatu dari mereka berhenti karena capek, lelah, karena memang ingin berhenti, dll. Namun ada satu orang yang terus berlari hingga akhirnya dia terjatuh dan tidak bisa melanjutkan untuk berlari lagi.” Apa pelajarannya? Kita jangan pernah berhenti hanya karena keinginan kita, tapi berhentilah karena memang tubuh kita meminta untuk berhenti, karena saat tubuh kita berhenti itu artinya kita sudah menggunakan kapasitas kita dengan maksimal, dan saat itulah Allah mengizinkan dan meminta kita untuk berhenti.

Bagi saya ketika kita berani melafadzkan syahadat saat akan mengemban amanah, itu artinya kita berani bertanggung jawab dihadapan-Nya. Maka ketika kita merasa ingin berhenti kita akan tahu untuk siapa kita berjuang dan kepada siapa pertanggungjawaban kita kelak, bukan hanya di dunia tapi juga akhirat.

Saat Allah mengingatkan saya melalui semua hikmah itu, seolah mengetuk pintu hati ini dan semakin membuka pikiran yang sempat ‘over thinking’. Lalu perlahan pertanyaan muncul dalam benak, sudah sejauh mana saya memberi manfaat dalam berjuang di ikatan ini? Ah rasanya belum ada apa-apanya dari semua proses dan dinamika yang membuat diri semakin tangguh. Bukankah masalah itu harusnya mendewasakan dirimu? Lantas kau masih berpikir tentang kelelahanmu?

Ternyata sejauh perjalanan berjuang bersama IMM yang dibumbui dengan rasa lelah ini, kita perlu berdiskusi pada hati kecil ini dengan tenang. Sehingga kita bisa membuka mata, telinga, dan hati ini untuk melihat, mendengarkan, dan tergerak berjuang sebagai kader yang mampu menjadi solusi untuk berbagai persoalan yang ada di bumi Allah.

Selamat menempuh perjuangan selanjutnya. Menjadi kader akan terus berlanjut sampai seumur hidup dan mengkader adalah tugas dari semua kader ikatan.
Nikmati saja semuanya dengan lebih bahagia. Allah akan selalu menolongmu berjuang di ikatan ini.
Ikatan Mahasiswa Muhammadiyah.

Billahifisabililhaq
Fastabiqul Khairat